Apa yang kita jalani hari ini tak pernah kurencanakan. Tiba-tiba saja waktu mempertemukan kita. Kamu dan aku sepakat untuk menjalin hati. Menumbuhkan perasaan. Kita belajar satu sama lain. Aku berusaha memahami sifatmu yang masih asing untukku. Begitupun kamu, yang dengan senang hati menerima duniaku. Hal yang barangkali jarang atau belum pernah kamu temui sama sekali. Kita dua orang yang tak sehobi. Aku suka hal-hal yang sepi, tidak begitu suka keramaian. Jika pun ingin menikmati waktu denganmu, aku lebih suka menghabiskan waktu berdua saja. Menikmati angin yang bertiup lembut. Atau menatap senja di ujung pantai yang tak begitu ramai. Sementara kamu lebih suka hal sebaliknya. Kamu suka hal-hal yang heboh, sesuatu yang meriah. Kamu suka tempat-tempat yang tidak membuatku nyaman sebelumnya.
Beberapa kali kita harus belajar keras saling memahami. Kamu belum paham duniaku. Aku juga tak begitu paham duniamu. Kita sempat berdebat hal-hal yang sebenarnya tak perlu kita debatkan. Tapi yang aku suka darimu, kamu mau belajar tenang. Meski kita belum menemukan pemahaman yang sama. Kamu mau belajar menerima duniaku. Itu yang membuatku juga ingin belajar memahami duniamu. Hal-hal yang tak pernah kulalui sebelumnya. Meski pada akhirnya, aku menyadari satu hal penting untuk kita. Waktu telah menautkan hati kita. Hal yang harus kamu dan aku jalani bukan tentang memahami duniaku saja, atau duniamu saja. Namun, kita harus belajar menciptakan dunia yang baru. Dunia kita.
Sebagai orang yang menekuni kegiatan tulis menulis sejak beberapa tahun lalu. Aku pernah berkeinginan punya kekasih yang sehobi denganku. Namun, Tuhan mengirimkan kamu kepadaku. Bukan orang yang berkegiatan menekuni tulis menulis. Kamu malah menekuni kegiatan masak-memasak. Ya, kamu suka memasak untuk orang-orang. Suatu hari kamu pernah berkata kepadaku. Memasak membuatmu merasa bahagia. Sama seperti aku. Menulis membuatku tidak menjadi orang gila. Sejak hari itu aku mengerti satu hal lagi. Terkadang, kita tidak butuh orang yang paham dunia kita. Orang yang sekegiatan dengan kita. Yang kita butuhkan hanyalah orang yang mau menerima dunia kita. Yang mau sama-sama belajar saling memahami. Meski sebelumnya tidak tahu apa pun satu sama lain.
Kini kita telah sepakat untuk tetap menjaga apa yang sudah kita miliki. Meski beberapa kali tetap berdebat untuk hal-hal yang belum sepenuhnya kita pahami. Tak mengapa, itu wajar saja. Selama kamu dan aku percaya satu hal. Sehebat apa pun kita berdebat, percayalah, rasa sayang yang kita punya jauh lebih besar dari itu. Hal yang harus membuat kita kembali menyadari, kita tidak boleh lama-lama merawat emosi buruk. Agar apa-apa yang kita jaga tetap terawat dan berbahagia. Dulu, aku pernah membayangkan hidup dengan seseorang yang sama-sama menulis buku. Namun kini, aku selalu membayangkan, kelak saat aku menulis buku. Ada seseorang yang menyediakan makanan untukku. Dan orang itu adalah kamu.