Rabu, 05 Oktober 2016

Salahkah jika aku berharap kepada dirimu lagi? | Akhbrmrf :')

“kamu pergi ketika saya sudah sangat nyaman bersamamu, kamu lari
     ketika saya sudah sangat mencintaimu, Kamu menghilang tanpa
bilang-bilang, sementara aku yang terlanjur mencintaimu hanya bisa
      berharap Tuhan membuatmu sadar. Bahwa di sini ada aku yang
                mendoakanmu tanpa henti”. –akhbrmrf

Aku duduk di warung kecil tempat pertama kali aku memandangi dirimu. Dilangit Jakarta yang sedang hujan, aku menenguk mizone lemon tea yang dingin.  Ada kehampaan di sini yang aku rasakan karena tidak ada kamu yang duduk di sampingku. Dan, suara Marcell tidak menjadi penenang bagiku. Lagu firasat mengalun di telinga, menjalar ke hatiku, kemudian membuat dadaku sesak.

Aku ingat saat pertama kali bertemu denganmu di sini, setelah bertemu kita saling melontarkan cerita hidup yang berbeda dan saling memberi saran. Dan, tanpa sengaja aku memandangi wajah cantikmu dengan seksama. Seolah-olah pikiran ku sedang di hantui dengan paras wajahmu itu, aku terdiam tanpa kata.

Setelah malam itu, kamu menjelma menjadi wanita yang pesannya selalu aku tunggu. Aku menunggu kesibukanmu usai agar kita bisa berkomunikasi, dan agar rasa rindu yang penuh di dadaku bisa sedikit mengecil atau mereda. Tapi, aku tidak bisa menahan diri untuk tidak merindukanmu. Rasa itu semakin membungkamku ketika aku sedang menulis cerita-cerita lainnya. Kamu mengirimku sebuah nyanyian melalu voice note. Meskipun saat itu aku berada sangat jauh denganmu, namun kurasakan napas dan dirimu selalu mengikutiku.

Sepulang dari tempat nongkrong, kita memutuskan untuk bertemu kembali pada pertemuan kedua. Aku membawa rasa rindu yang menggebu di dadaku, tetapi kamu datang membawa kabar buruk untukku. Beberapa detik kemudian, kamu mulai menceritakan kisah hidupmu, hingga pada akhirnya kamu menceritakan bahwa kamu masih mencintai mantanmu itu. Tahukah kamu apa yang kurasakan pada saat itu? Rasanya aku ingin meledak, pergi meninggalkanmu, dan aku merasa marah pada diriku sendiri.

Selama kedekatan kita, kamu memang tidak member status hubungan apapun. Aku pun tidak memaksakan agar kita segera memiliki status, tapi mengapa aku marah ketika tahu kamu masih mencintai mantanmu? Kemudian aku menunduk kebawah dengan mataku yang berair. Namun, mengapa aku tidak bisa melepaskan dirimu yang itu pada diriku? Dirimu yang bukan hakku, dirimu yang bukan milikku. Dalam hatiku, aku menangis sejadi-jadinya. Rasanya sangat tidak adil, aku sedang berada pada puncak sangat mencintaimu, dan kenyataan yang kau bicarakan itu benar-benar telah menghancurkan mimpi-mimpi megah yang telah aku bangun.

Aku sudah membayangkan suatu hari akan mengenalkanmu pada ibuku. Aku sudah berharap bisa membawa namamu ke dalam tulis-tulisanku nanti. Aku sudah membayangkan bahagianya bisa berada dalam status hubungan yang spesial bersamamu. Aku membayangkan setiap hari berpelukan denganmu. Aku membayangkan bisa merangkul tanganmu dengan mesra. Kamu sudah membuatku terbiasa dengan sikapmu, rasa humoris yang selalu kau tunjukan padaku, dengan keliaran menyenangkan yang hanya kita ketahui berdua, dengan segala hal bodoh yang membuat aku bisa menjadi diriku sendiri ketika bersamamu, namun mengapa kau justru pergi ketika kamu telah membuatku sangat terbiasa pada kebahagian akan hadirmu?

Hingga hari ini, aku masih merasa semua tidak adil. Rasa kekhawatiranku masih terus begejolak, dan juga rasa kekecewaan aku. Dengan alasan kamu tidak ingin membohongiku dan menyakitiku terlal jauh. Tapi, sebagai yang bukan siapa-siapa, memang aku tidak berhak melarang apa-apa. Bagaimana mungkin aku begitu mudah terjebak pada segala perlakuan manismu, ketika aku pada akhirnya tahu –kamu sudah lebih dulu mencintai orang lain yaitu mantanmu.

Andai kau tahu, aku masih mencintaimu sedalam ketika aku pertama kali bertemu. Aku masih mencintaimu, sekuat ketika pertama kali kamu menghancurkan hati ini. Aku masih mencintaimu, bahkan ketika kamu memilih pergi dari hidupku dengan alasan aku hanya sahabatmu saja.

Aku merasa sangat kehilangan, meskipun kamu tidak merasakan apa-apa. Aku merasa takut kehilangan, meskipun kamu bukan milikku. Aku merasa kehilangan, kehilangan harapan yang telah susah payah kubangun untukmu.

Kembalilah padaku ketika kamu bosan berjuang demi mantanmu. Aku akan tetap sebodoh ini, mencintaimu tanpa mengemis status dan kejelasan hubungan kita. Kembalilah padaku, jika dia tak bisa memberikan kebahagiaan dan peluk yang cukup hangat untukmu. Aku akan tetap jadi pria yang bodoh, yang merindukanmu dalam dia dan kesunyian. Kembalilah padaku, jika mantanmu tidak bisa menjaga perasaanmu. Karena aku akan tetap di sini, tetap menunggumu di belakang sini, tetap menjadi akhbar yang tolol yang menunggu kamu pulang.


Untukmu,
yang tidak akan pernah tahu,
dan tidak mau tahu,
siapa yang paling tersiksa,
dalam hubungan ini.